‘Indonesia yang Gelap’ dan Warisan Populisme Predatoris Jokow

adilnews | 12 April 2025, 02:50 am | 49 views

Oleh: Airlangga Pribadi Kusman*

Pada tahun 1804, komposer Jerman Ludwig van Beethoven merobek halaman pertama simfoni Eroica yang telah selesai dibuatnya, yang awalnya ia dedikasikan untuk Napoleon Bonaparte—jenderal militer yang menunggangi cita-cita revolusi Prancis dalam pendakiannya menuju kekuasaan dan yang digambarkan Beethoven dalam simfoninya sebagai sosok Prometheus yang menentang para dewa (para bangsawan). Ia kecewa dengan kenyataan bahwa Napoleon baru saja menobatkan dirinya sendiri sebagai kaisar, mengkhianati cita-cita revolusioner tersebut.

Kekecewaan Beethoven mungkin tidak asing bagi para aktivis pro-demokrasi Indonesia yang kecewa dengan mantan presiden Joko Widodo. Kesedihan dan kemarahan para aktivis, seniman, penyair, dan intelektual meluap saat harapan mereka untuk mengembalikan semangat Reformasi disematkan pada mantan pengusaha mebel yang mereka lihat sebagai sosok Prometheus yang ramping, berpenampilan sederhana, melawan dewa-dewa oligarki—hanya untuk mengkhianati para pendukungnya dengan menciptakan dinasti politiknya sendiri.

Sentimen ini digaungkan oleh para pemuda—terutama mahasiswa—yang telah membunyikan alarm atas apa yang mereka sebut sebagai “Indonesia Gelap”! Gerakan Indonesia Gelap, yang dipimpin oleh mahasiswa di seluruh negeri, merupakan respons terhadap berbagai masalah yang dihadapi negara ini, mulai dari penentangan terhadap program pemotongan anggaran pemerintah dan RUU yang bermasalah hingga reformasi pendidikan yang tidak demokratis dan kabinet yang gemuk penuh dengan kepentingan pribadi.
Dapat dikatakan bahwa Indonesia Gelap adalah warisan dari sepuluh tahun kekuasaan Jokowi, yang dapat dicirikan sebagai periode populisme predatoris.

Populisme predator Jokowi
Kurt Weyland mendefinisikan ‘populisme’ sebagai strategi politik yang dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik yang membangun hubungan langsung dan tanpa mediasi dengan basis pendukung yang bersemangat—yang diperkuat setelah meraih kekuasaan. Populisme jenis ini cenderung memandang peraturan dan sistem demokrasi sebagai hambatan bagi konsolidasi kekuasaan. Akibatnya, lembaga-lembaga independen disandera atau dilemahkan, supremasi hukum dirusak, dan kebebasan politik warga negara terkikis.
Kekuatan populisme predator Jokowi yang cenderung otoriter terletak pada hubungan antara pemimpin dan basis pendukung informal yang tidak terorganisir.

Dalam konfigurasi populis seperti itu, kerapuhan basis ini dikompensasi dengan mengkonsolidasikan kekuasaan dalam lembaga-lembaga negara. Seiring berjalannya waktu, strategi ini mengikis pemisahan kekuasaan, pengawasan dan keseimbangan, dan supremasi hukum, yang pada akhirnya mengubah pemimpin menjadi seorang lalim yang mengesampingkan lembaga-lembaga demokrasi. Yang terpenting, gaya pemerintahan populis Jokowi harus dipahami dalam konteks ekonomi politik pasca-Orde Baru di Indonesia. Populismenya terkait erat dengan tatanan politik-ekonomi predatoris yang didorong oleh kepentingan pribadi. Hal ini melibatkan pengaturan dan mobilisasi kekuasaan negara melalui strategi populis, sambil terlibat dalam pertempuran sosial-politik untuk memperebutkan kendalinya.

Alih-alih membongkar kekuatan elit oligarki yang mengakar, populisme Jokowi telah memperdalam kecenderungan predatoris dengan menyerang reformasi kelembagaan yang dibangun setelah jatuhnya Suharto. Strategi politiknya telah menyelaraskan akumulasi modal dengan kepentingan bisnis, retorika populis, dan kehidupan birokrasi—sementara juga melemahkan struktur hukum untuk memungkinkan eksploitasi sumber daya negara dan redistribusi kekayaan kepada sekutu politik.
Tuntutan yang disuarakan dalam Indonesia Gelap adalah buah pahit dari sepuluh tahun pemerintahan populis predatoris. Ini dimulai dengan melemahkan pengawasan dan keseimbangan serta melemahkan lembaga yang mengawasi cabang eksekutif. Secara bertahap, aliansi Jokowi berkembang menjadi mayoritas di semua partai dan fraksi parlemen, sehingga mengurangi pengawasan politik terhadap presiden.

Konsekuensi politik dari konsolidasi kekuasaan ini adalah mudahnya undang-undang kontroversial disahkan, seringkali tanpa pertimbangan demokratis yang tepat, seperti Omnibus Law, UU Pertambangan, proyek IKN (Ibu Kota Nusantara) yang baru, penumpukan utang luar negeri dengan sedikit masukan publik, dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2019. Konsolidasi kekuasaan ini sangat kontras dengan slogan akar rumput Jokowi “Jokowi Adalah Kita” selama pemilihan presiden 2014, yang mengisyaratkan solidaritas dengan rakyat biasa daripada kekuatan oligarki yang mengakar.

Otoritarianisme kompetitif?
Seiring Jokowi mengonsolidasikan kekuasaannya, manuvernya semakin berbenturan dengan norma konstitusional yang berakar pada pemisahan kekuasaan dan supremasi hukum. Fase ini dimulai dengan langkah-langkah untuk mengubah UUD 1945 untuk memungkinkan perpanjangan masa jabatan presiden, yang didukung oleh elit politik yang dekat dengan Jokowi dan dilegitimasi oleh sekutu intelektual. Namun, manuver ini digagalkan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri yang menolak usulan tersebut.

Ia kemudian memasangkan mantan pesaing politiknya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dengan putra sulungnya, Wali Kota Solo saat itu Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk pemilihan 2024. Langkah ini difasilitasi oleh Mahkamah Konstitusi yang dipimpin oleh saudara ipar Jokowi, Hakim Anwar Usman, yang memanipulasi keputusan pengadilan yang memberikan perubahan aturan yang menurunkan batas usia calon wakil presiden—yang membuka jalan bagi pencalonan Gibran.

Selama pemilihan presiden 2024, relawan populis Jokowi sangat terlibat dalam memastikan dukungan publik untuk pasangan Prabowo-Gibran. Para relawan yang pernah memperjuangkan demokrasi partisipatif kini mendapati diri mereka terserap ke dalam struktur kekuasaan dinasti dan oligarki yang sama yang pernah mereka lawan.
Fase ini menandai pukulan fatal bagi lembaga-lembaga demokrasi. Pemilu 2024 sesuai dengan ciri utama rezim otoriter yang kompetitif—sistem di mana lembaga-lembaga demokrasi ada tetapi dieksploitasi oleh mereka yang berkuasa untuk mempertahankan kendali. Rezim-rezim seperti itu akhirnya kehilangan bahkan sifat-sifat demokrasi yang minimal, dengan kebebasan sipil yang menurun dan lapangan permainan politik yang semakin tidak setara.

Tanda-tanda otoriterisme kompetitif dalam pemilu 2024 termasuk aparatur negara dan birokrasi yang digunakan untuk mempertahankan pengaruh Jokowi pasca-kepresidenan. Program-program polisi dan kesejahteraan (digunakan sebagai alat aparat hukum melalui bantuan sosial) menguntungkan kandidat yang didukung Jokowi. Upaya polisi untuk “mendinginkan ketegangan” selama protes mahasiswa dan akademisi atas pelanggaran etika presiden termasuk menekan pejabat universitas untuk secara terbuka menentang perbedaan pendapat akar rumput.

Kemerosotan ke Indonesia yang lebih gelap
Gerakan Indonesia Gelap adalah produk historis dari populisme predatoris Jokowi. Manuver politik Jokowi yang telah menggerogoti demokrasi dari waktu ke waktu—hasil dari keselarasan eksekutif-legislatif, melemahnya oposisi, dan menurunnya partisipasi publik—telah berpuncak pada kebijakan yang menguntungkan kaum oligarki dan menciptakan krisis dalam pembangunan. Ini termasuk penghancuran hak atas tanah masyarakat adat, meningkatnya utang publik, dan penghematan yang membebani rakyat.

Pemusatan kekuasaan melalui dinasti politik Jokowi, bangkitnya otoritarianisme kompetitif, dan campur tangannya dalam proses demokrasi telah membongkar supremasi sipil, menghancurkan lembaga antikorupsi, dan mengkompromikan imparsialitas penegakan hukum—semua hasil dari sepuluh tahun konsolidasi kekuasaannya.

Di tengah protes Indonesia Gelap, Indonesia memasuki krisis transisi. Gramsci dengan terkenal mengatakan ‘yang lama sedang sekarat tetapi yang baru tidak dapat dilahirkan’. Yang lebih mengkhawatirkan, di Indonesia, tatanan lama tidak lagi dipercaya tetapi tampaknya yang baru tidak kunjung lahir.

*Artikel diterjemahkan dari media Melbourne University untuk kepentingan penyebaran pengetahuan. Untuk melihat rujukan dari penjelasan didalamnya silahkan klik langsung ke link website aslinya

‘Dark Indonesia’ and Jokowi’s legacy of predatory populism

Berita Terkait