
MAGELANG, ADILNEWS.COM- Sejumlah spanduk bernada protes terhadap pengelola Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah masih terpasang di pinggir jalan di luar areal kawasan wisata itu. Salah satu spanduk itu berisi tuntutan untuk meniadakan pembatasan pengunjung harian di candi Buddha peninggalan Wangsa Syailendra, Mataram Kuno pada abad ke-8.
Sebulan sebelumnya sekitar 200 warga dari berbagai elemen masyarakat menggelar aksi deklarasi “Borobudur untuk Rakyat”. Aksi damai ini berlangsung di Jalan Pramudyawardani, tepat di sebelah timur kompleks Candi Borobudur. Salah satu tuntutan utamanya adalah menghapus batasan jumlah pengunjung Candi Borobudur yang saat ini dibatasi 1.200 orang per hari.
Pendapatan Berkurang
Kebijakan pembatasan pengunjung Candi Borobudur bagi pedagang di sekitar tempat wisata sejarah itu dianggap berdampak buruk pada ekonomi masyarakat sekitar. Mereka mengaku mengalami penurunan pendapatan secara drastis.
“Sejak adanya pembatasan pengunjung, terjadi penurunan pendapatan rata-rata 83 persen. Maka wajar kalau kami menginginkan dilakukan perubahan,” ujar Suwito, warga Candirejo.
Dalam aksi tersebut, masyarakat juga memasang spanduk bertuliskan “Borobudur ora didol” (Borobudur tidak dijual) sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang mereka anggap merugikan.
Pimpinan Forum Masyarakat Borobudur Bangkit (FMBB), Puguh Tri Warsono, dalam kesempatan itu menyatakan, banyak orang yang memiliki hak terhadap Candi Borobudur. Hal itulah yang membuat mereka berusaha untuk mempersatukan kekuatan yang ada di Borobudur.
Selama ini mereka merasa suara rintihan hati, dan tangisannya tak pernah didengar pihak pengelola Candi Borobudur. Suara keluhan itu hanya bisa dirasakan diri pribadi masing-masing warga. “Tidak bisa dilontarkan, tidak bisa dimunculkan, karena ketakutan, karena tekanan, ancaman, memecah belah dan sebagainya. Ini cara-cara yang tidak baik,” katanya seperti dikutip Jateng Baru.
Puguh menilai, selama ini warga juga kurang dilibatkan dalam pemanfaatan, pengelolaan, dan pengembangan Candi Borobudur. Dia menyebut, ada sejumlah kebijakan dan aturan dalam pengelolaan candi yang nampaknya cukup berdampak besar dan merugikan warga setempat. Oleh karena itu FMBB menyatukan berbagai kepentingan masyarakat yang ada di Borobudur.
Mereka mengajukan tujuh prioritas tuntutan yang harus diselesaikan oleh pemerintah dan pihak pengelola Candi Borobudur. Tuntutan tersebut sebagai bentuk keprihatinan dalam memecahkan masalah dan menyelesaikan tata kelola yang benar, baik dan bisa mengayomi, serta menyejahterakan masyarakat.
Selain menolak pembatasan pengunjung, mereka juga meminta pembukaan pintu akses masuk candi di beberapa titik. Kalau melihat Perpres 101 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Kompleks Candi Borobudur, menurut penilaian Puguh, terindikasi adanya benturan kepentingan antarpengelola yang ada di Candi Borobudur.
Pengelola di bidang konservasi dan bidang pariwisata diduga tidak akur. Akhirnya kepentingan egosektoral pun dimunculkan, sehingga abai terhadap kepentingan masyarakat.
“Muncul kebijakan-kebijakan lucu. Ribuan pedagang dan parkir dipindahkan ke Pasar Kujon, tetapi di zona 2, namun muncul usaha besar yang juga berdagang menjual suvenir, makanan, minuman dan oleh-oleh. Ini sangat menyedihkan,” tukasnya.
Bagi FMBB, hal itu berarti mengingkari kesepakatan bersama yang dibuat sebelumnya antara Pemda, Pemprov dan PT Taman Wisata Candi (TWC). “Di tengah ribuan orang yang dagangannya tidak laku, ratusan pedagang yang belum mendapatkan kios, mereka tega mendirikan usaha besar di zona 2. Jelas itu penghianatan dan kepentingan oligarki yang terjadi,” tandas Puguh. Atas dasar itulah mereka menuntut pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan sebelumnya.
Sementara itu pelaku wisata yang ada di kawasan Borobudur, Punjung, mengatakan, Borobudur itu merupakan kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN). Dengan adanya pembatasan pengunjung, hanya 1.200 orang/hari, sangat berdampak signifikan. Artinya, ekonomi masyarakat terpuruk atau melemah. Kalau ekonomi melemah, bisa berpotensi masyarakat setempat bergejolak.
“Tujuan kamu agar pembatasan pengunjung sebanyak 1.200 untuk direvisi. Kami tidak ingin adanya pembatasan. Buka seluas-luasnya terkait jam operasional dan jumlah pengunjung,” pinta Punjung. Kalau bisa seperti itu, Pemkab setempat dan masyarakat memperoleh penghasilan.
“Kalau pengunjungnya di atas 10 ribu/hari, menurut perhitungan kami, PT TWC, Balai Konservasi Borobudur dan masyarakat akan untung. Tidak ada yang dirugikan,”:tuturnya.
Aktivis Lembaga Adat Borobudur, Jeck Priyana, merasa warga setempat korban dari KSPN. “Sebenarnya kebijakan itu potret kebodohan. Borobudur adalah korban monopoli singgel manajemen. Kami dipisahkan, dijauhkan, kami dihilangkan identitas budayanya,” tandas Jeck.
Tanggapan Pengelola
Selama ini candi Borobudur masuk dalam pengelolaan PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Menanggapi protes dari FMBB, pihak pengelola menyebut kepentingan warga sudah menjadi perhatian.
Pejabat Pengganti Sementara (Pgs) Corporate Secretary Group Head PT TWC Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Destantiana Nurina mengatakan, aksi itu merupakan satu cara untuk menyampaikan aspirasi. “Kami menghargai proses yang dilakukan oleh FMBB dan harapannya dapat memberikan dampak yang positif, baik warga, TWC, maupun Museum dan Cagar Budaya (MCB),” jelasnya seperti dikutip Radar Jogja pada 2 Februari 2025.
Namun demikian, Desta menilai, ada miskomunikasi antara pihak pengelola dengan warga. Sebelum menggelar aksi, TWC juga sempat bertemu dengan perwakilan warga untuk membahas soal Perpres Nomor 101 Tahun 2024. Desta menyebut, Perpres tersebut justru mengedepankan kepentingan warga dan melindunginya.
Desta mengatakan, dalam membangun ekosistem warga di kawasan Borobudur sudah tercantum dalam Perpres tersebut. “Yang mereka tekankan adalah terkait 1.200 (kunjungan naik candi). Padahal 1.200 itu tidak (diatur) di Perpres Nomor 101 Tahun 2024. Tapi (diatur) di Permenko. Mungkin memang salah penafsiran,” sebutnya.
Untuk hak lapak bagi para pedagang di kampung seni, lanjut Desta, TWC sudah memfasilitasinya. Hanya saja, para pedagang menolak untuk menempatinya karena dinilai tidak sesuai dengan tuntutan mereka. Kendati begitu, TWC berjanji akan terus berkomunikasi dengan pedagang agar mendapat jalan keluar terbaik.
Staf Museum Cagar Budaya (MCB) Unit Warisan Dunia Borobudur Hari Setyawan mengatakan, pihaknya selama ini telah berupaya untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur. “Terkait dengan pembatasan dan sebagainya, secara teknis itu tujuannya adalah upaya untuk melestarikan candi, bukan untuk menahan hak-hak warga sekitar Borobudur,” tukasnya.
Tiga bulan lalu, TWC juga mengaku telah memadankan data pedagang di kawasan candi sesuai permintaan Ombudsman Jawa Tengah. Pemadanan data ini dilakukan secara bertahap dan cermat untuk memastikan keabsahan sesuai aturan. Pihaknya juga mengaku terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan penyelesaian yang terbaik bagi semua, terutama untuk keberlanjutan kawasan Borobudur.
“Kami memahami ada ketidaksesuaian data yang beredar di publik. Namun, PT TWC tetap berkomitmen menjaga integritas dan keterbukaan selama proses ini. Kami berharap semua pihak mendukung proses ini agar kawasan Borobudur dapat menjadi ruang yang lebih baik untuk pedagang dan pengunjung, sekaligus menjaga kelestarian,” kata Corporate Secretary Group Head PT TWC Ryan Sakti seperti dikutip Harian Jogja.
Semoga ada solusi untuk mendapatkan titik temu antara kepentingan cagar budaya dengan kepentingan para warga, khususnya pedagang yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan di lokasi wisata Borobudur. Candi peninggalan Buddha ini tentu harus tetap dilestarikan, dan para pedagang harus tetap bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. (Fadjar/ Jogja)
