Investor Tiongkok Terlilit Utang, PT GNI Terancam Bangkrut

adilnews | 7 March 2025, 03:00 am | 40 views

Sejumlah alat berat terparkir tanpa aktivitas di halaman PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI), perusahaan smelter asal Tiongkok yang beroperasi di Morowali, Sulawesi Tengah. Produksi pengolahan nikel mereka terus menerus dipangkas, bahkan terancam berhenti sepenuhnya setelah perusahaan diketahui menunda pembayaran kepada pemasok energi lokal dan kesulitan memperoleh bijih nikel.

PT GNI yang pernah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), yang berafiliasi dengan raksasa baja tahan karat Jiangsu Delong Nickel Industry Co, kabarnya terimbas persoalan besar yang dihadapi induk perusahaannya. Jiangsu Delong selaku holdingnya saat ini tengah menjalani proses restrukturisasi utang dalam pengadilan Tiongkok akibat beban finansial yang berat. Keadaan itu yang membuat investor asal Tiongkok itu berpikir untuk menutup smelternya.

Anjloknya Harga Nikel
Smelter PT GNI secara resmi diresmikan oleh Jokowi pada 27 Desember 2021. Pemilik PT GNI sendiri adalah seorang pengusaha asal Tiongkok Tony Zhou Yuan yang juga menjabat sebagai Direktur Operasional PT GNI. Pabrik tersebut berada di bawah kepemilikan perusahaan baja Tiongkok, Jiangsu Delong Nickel Industry Co. Ltd, yakni perusahaan pertambangan nikel yang bergerak di bidang penambangan, peleburan, serta pemurnian nikel.

Adapun pabrik pengolahan nikel ini dibangun dengan investasi Rp42,9 triliun. Sejumlah bank-bank besar tanah air ikut andil dalam menyalurkan sindikasi kredit ke PT GNI dalam jumlah yang cukup besar pada 2023. Berdasarkan data Bloomberg, terdapat dua bentuk deal league credit pada periode yang sama, yang pertama sebesar US$ 432,33 juta, dan deal kedua sebesar US$ 429,99 juta. BNI, Mandiri dan BCA, masing-masing menyalurkan sebesar US$ 1,30 juta dan US$ 1,29 juta.

Dalam produksinya, PT GNI mengklaim menerapkan Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) teknologi ramah lingkungan dengan mengembangkan 25 jalur produksi. Perusahaan ini mulai mengekspor produk hasil olahan nikelnya pada 20 Januari 2022 lalu. Adapun produk yang diekspor ialah turunan nikel dalam bentuk Nickel Pig Iron (NPI) atau feronikel. Dari tiga smelternya, per tahun PT GNI menghasilkan 1,9 juta NPI) dengan nilai total ekspor feronikel mencapai sekitar USD23 juta.

Namun kini PT GNI sedang menghadapi masalah yang memperngaruhi produksinya yang kian menurun. Sejak awal tahun 2025 ini, pabrik tersebut telah menyetop lebih dari 20 lini produksinya. Selain terimbas oleh kejatuhan induk usahanya, Jiangsu Delong Nickel Industry Co, berbagai pakar menilai masalah di sektor hilirisasi nikel tersebut merupakan imbas dari makin jenuhnya persaingan di industri smelter nikel pirometalurgi.

Penurunan harga nikel global sejak akhir tahun 2022 juga menjadi faktor yang memperburuk kondisi perusahaan itu. Penurunan harga ini menyebabkan produksi bijih nikel di Indonesia diperketat selama hampir setahun terakhir.

Dominasi Pekerja Asing
Selama beroperasi, PT. GNI paling sering mengalami kecelakaan kerja. Terakhir terjadi kebakaran hebat di pabrik smelter itu sehari sebelum perayaan Natal 2023 yang menelan puluhan korban jiwa baik dari pekerja asing maupun lokal. Sepekan kemudian terjadi kebakaran di smelter tersebut tanpa korban jiwa.

Sebelumnya, terjadi bentrokan antara pekerja lokal dan pekerja asing di smelter nikel itu pada 14 Januari 2023 yang menelan korban jiwa. Dua pekerja smelter meninggal dunia, di mana satunya merupakan pekerja asal Tiongkok. Salah satu faktor terjadinya bentrokan yang berujung pada pembakaran mess karyawan dan kendaraan kerja tersebut yakni adanya kecemburuan sosial oleh pekerja lokal terhadap perlakuan perusahaan kepada pekerja Tiongkok.

“Jadi puluhan tenaga kerja China itu gunakan pipa besi dan menyerang karyawan yang mau ikut aksi mogok kerja di luar. Beberapa teman pekerja luka,” jelas Ketua Serikat Pekerja Nasional PT GNI di Morowali Utara, Amirullah, seperti dikutip BBC

Dari bentrokan tersebut muncul kembali isu dominasi pekerja asal Tiongkok, yang diperlakukan berbeda oleh perusahaan sehingga membuat kecemburuan sosial dikalangan pekerja lokal. Sejauh ini belum diketahui seberapa banyak jumlah pekerja Tiongkok yang bekerja di perusahaan hilirisasi nikel ini. Namun, Dinas Tenaga Kerja Morowali Utara mencatat jumlah tenaga kerja asing yang bekerja di pabrik smelter PT GNI mencapai 533 orang. Seluruh pekerja asing itu berasal dari Tiongkok.

Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Triyono mengatakan pekerja asal Tiongkok mendominasi jumlah pekerja asing di Indonesia yang mencapai 59.320 orang atau sebesar 44,49 persen dari total pekerja asing. Menurutnya, jumlah pekerja asal Tiongkok tidak berbanding lurus dengan investasi negara mereka di Indonesia.

“Kita bisa melihat ternyata perbandingan jumlah investasi tidak selalu berbanding lurus dengan jumlah tenaga kerja yang dikirim ke negara kita,” ujar Triyono dalam diskusi “Refleksi Satu Dekade Relasi Indonesia-China di Era Belt and Road” pada 26 Oktober 2023.

Berdasarkan penjelasan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, saat itu terdapat 1.300 pekerja asal Tiongkok yang memiliki keterampilan teknis. Jumlah pekerja asing asal Tiongkok ini menurutnya masih jauh lebih rendah dibandingkan pekerja Indonesia yang mencapai 11.000 orang. Ke depannya, jumlah pekerja lokal di smelter itu menurutnya akan ditambah lagi menjadi 30.000 orang.

Selama 2020-2022, menurut data yang dikumpulkan oleh Trend Asia, terdapat total delapan insiden kecelakaan kerja di PT GNI, dengan lima pekerja meninggal dunia dan tiga lainnya mengalami luka-luka.

Atas banyaknya kasus kecelakaan kerja di PT GNI, Kementerian Ketenagakerjaan didesak mengambil tindakan hukum dan menjatuhkan sanksi berat terhadap perusahaan asal Tiongkok itu karena melakukan sejumlah pelanggaran aturan ketenagakerjaan. Pelanggaran itu mulai dari tidak adanya Peraturan Perusahaan, memberlakukan status kontrak bagi pekerjaan yang bersifat tetap, pemotongan upah, melanggar aturan tentang Keselamatan Kesehatan Kerja atau K3, serta PHK sepihak.

Kepentingan Strategis PKT
Dengan kondisi yang semakin sulit, masa depan PT GNI kini dipertanyakan, terutama dalam keberlanjutan operasionalnya di industri smelter nikel Indonesia, termasuk dampaknya bagi ekonomi dan investasi asing lainnya, khususnya dari Tiongkok. Untuk mengantisipasi risiko itu, Direktur Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widayanto memberi setidaknya beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.

Menurutnya, Indonesia perlu segera melakukan diversifikasi investasi nikel selain dari Tiongkok. Selain Jiangsu Delong, perusahaan Tiongkok lain yang tercatat menguasai investasi besar di industri nikel Indonesia adalah Tsingshan Holding Group Co Ltd.

Selain itu, pemerintah perlu waspada terhadap kepentingan strategis Tiongkok di sektor nikel. Tiongkok sangat bergantung pada pasokan nikel Indonesia untuk kebutuhan industri baterai mobil listriknya dan pembuatan baja nirkarat.

Hal ini, menurut Djoko, menjadikan sektor nikel Indonesia sebagai bagian penting dari rencana industri Tiongkok, yang mungkin akan mendorong mereka untuk tetap berinvestasi meski ada masalah dengan beberapa perusahaan.

“Meskipun masalah di Gunbuster dan Jiangsu Delong bisa menimbulkan kekhawatiran, itu mungkin tidak langsung membuat Tiongkok menarik investasi besar mereka dari sektor nikel Indonesia secara keseluruhan,” tegas Djoko seperti dikutip Bloomberg Technoz pada 24 Februari 2025.

Hal senada disampaikan oleh Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar, Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia Deni Friawan, dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Haykal Hubeis. Mereka meyakini masalah yang terjadi di GNI tidak akan berdampak besar pada potensi investasi lainnya di sektor nikel dari Tiongkok.

Lantas apa dampaknya bagi ekonomi dan neraca perdagangan kita dengan Tiongkok yang sebelumnya surplus karena dikatrol ekspor nikel? Guru besar Hubungan Internasional Fisipol UGM, Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti, M.PP., M.Sc mengatakan situasi yang dihadapi PT GNI di Indonesia akibat dari perusahaan induknya di Tiongkok yang mengalami kebangkrutan. Dampaknya bagi neraca perdagangan Indonesia, menurutnya, masih perlu dicermati dulu. “Apalagi menimbang perdagangan Indonesia surplus dengan Tiongkok disebabkan juga karena komoditas seperti batu bara dan CPO,” jelasnya kepada ADIL News.

Danantara Bisa Akuisi
Ada juga solusi lain yang mungkin bisa dilakukan oleh pemerintah Prabowo Subianto. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara dinilai bisa mengambil alih saham PT GNI yang terancam berhenti beroperasi. Hal itu seiring dengan pembentukan Danantara yang diarahkan untuk mendanai proyek hilirisasi nikel, bauksit, hingga tembaga. Bahkan, Danantara telah menyiapkan initial funding atau pendanaan awal sebesar US$20 miliar atau sekitar Rp326,1 triliun (asumsi kurs Rp16.305 per dolar AS).

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, pembentukan Danantara dapat menjadi momentum untuk menyelamatkan PT GNI. Menurutnya, Danantara bisa bekerja sama dengan investor domestik untuk mengakuisisi perusahaan investasi Tiongkok itu, atau Danantara juga bisa mengakuisisi GNI lewat MIND ID.

“Ini kesempatan yang cukup baik karena ini momentum sekali. Karena dengan akuisisi saham mayoritas dari GNI itu setidaknya bisa mempercepat hilirisasi dengan tata kelola lingkungan yang baik, tata kelola pekerja yang baik,” tutur Bhima seperti dikutip Bisnis pada 24 Februari 2025.

Selain itu, Bhima juga berpendapat kelak produksi olahan nikel dari GNI bisa dihubungkan dengan proyek pabrik baterai Indonesia Battery Corporation (IBC) atau pun pabrik milik PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat.(Fadjar Pratikto/Jogja)

Berita Terkait