Keinginan RI Gabung BRICS Dikritisi CSIS

adilnews | 27 October 2024, 13:55 pm | 73 views

JAKARTA, ADILNEWS.COM – Pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Sugiono secara resmi telah menyampaikan keinginan untuk bergabung ke dalam BRICS dalam pertemuan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia (24/10/2024).

Dengan pengumuman tersebut, proses Indonesia untuk bergabung menjadi anggota BRICS telah dimulai. “Bergabungnya Indonesia ke BRICS merupakan pengejawantahan politik luar negeri bebas aktif. Bukan berarti kita ikut kubu tertentu, melainkan kita berpartisipasi aktif di semua forum,” tutur Sugiono dikutip dari laman resmi Kemenlu.

Menurut Sugiono, tujuan BRICS selaras dengan program kerja Kabinet Merah Putih terutama terkait ketahanan pangan dan energi, pemberantasan kemiskinan, serta pemajuan sumber daya manusia.

Tak hanya itu, BRICS dirasa dapat berfungsi sebagai perekat kerja sama di antara negara-negara berkembang. Meski demikian, Sugiono menegaskan Indonesia akan tetap bergabung dengan berbagai forum internasional yang berisi negara-negara maju.

“Kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju.” lanjutnya.

Keinginan pemerintah kita untuk bergabung dengan BRICS, dikritisi oleh
Centre for Strategic and International Studies atau CSIS. Direktur Eksekutif CSIS Yose Rizal Damuri mengaku kaget dengan keputusan pemerintah yang mengikuti jejak tiga negara Asean lain yaitu Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang bergabung ke BRICS.

Bagi Yose Rizal, level Indonesia sudah di atas Malaysia, Vietnam, dan Thailand. “Indonesia itu sudah berada di atas dari tiga negara anggota Asean ini, Indonesia itu anggota G20 kok, kita enggak terlalu memerlukan satu platform baru untuk tampil ataupun mempunyai corong di tingkatan global,” jelas Yose dalam media briefing yang disiarkan di kanal YouTube CSIS Indonesia, Jumat (25/10/2024).

Oleh sebab itu, Yose menilai seharusnya pemerintah cukup fokus ke G20. Bahkan, lanjutnya, Indonesia bisa pimpin negara-negara kawasan dengan membawa ASEAN sebagai organisasi bergabung ke G20.

“Seperti African Union misalnya, dan itu yang kita bisa coba kembangkan ke depannya, bukan bagian dari satu kelompok yang mungkin sampai sekarang belum ketahuan juga tujuannya untuk apa,” tutur Yose.

Seperti diketahui, BRICS dulunya mengacu pada Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, namun kelompok ini diperluas pada Januari 2024 dengan memasukkan Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).

Faktor India
Sejauh ini sikap para anggota BRICS berbeda-beda. Di satu sisi, ada China, Rusia, dan Iran yang mengambil posisi anti-Barat. Sebaliknya, anggota lain seperti Arab Saudi, UEA, dan Mesir mempertahankan keseimbangan antara kemitraan Barat dan hubungan ekonomi yang kuat dengan China.

Semua negara anggota BRICS kecuali India dan Brasil bahkan merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China. Termasuk Brasil, yang secara resmi bukan bagian dari BRI, sedang didekati oleh Beijing, yang membeli sekitar sepertiga dari ekspor Brasil.

Hanya India yang merupakan satu-satunya anggota BRICS yang memiliki hubungan strategis yang semakin kuat dengan Barat dan hubungan yang semakin tegang dengan China.

Perseteruan India-China terutama disebabkan oleh ketegangan yang terus berlanjut di sepanjang perbatasan de facto antara dua raksasa Asia ini, yang dikenal sebagai Line of Actual Control (LAC), di mana India mengklaim panjangnya 3.488 kilometer sementara China mengatakan panjangnya lebih pendek.

Menurut Harsh Pant, wakil presiden Observer Research Foundation, sebuah lembaga ThinkTank di India, kontur di dalam lima anggota asli BRICS telah berubah. Sebab Brasil dan Afrika Selatan adalah negara dengan ekonomi yang sedang berjuang saat ini
“Masuknya aktor baru membuatnya semakin kacau,” kata Pant seperti dikutip DW, juga agenda BRICS bergeser ke arah diskusi yang ekstensif tanpa menghasilkan hasil yang signifikan.

Bagi India, yang sekarang menjadi bagian dari aliansi strategis dengan Barat untuk menghadapi China di Indo-Pasifik, seperti kelompok “Quad” yang terdiri dari AS, Jepang, Australia, dan India, “tantangannya adalah apa yang harus dilakukan dengan platform seperti BRICS karena ada kontradiksi yang cukup jelas dan saya tidak berpikir mereka bisa disembunyikan,” ujar Pant.

Sreeram Chaulia, dekan di Jindal School of International Affairs, percaya bahwa sifat blok ini sedang mengalami transisi.

“Jika ekspansi ini tidak terjadi, BRICS hanya akan menjadi forum pembicaraan dan tidak memiliki banyak nilai dalam hal keuntungan strategis atau ekonomi bagi India. Tetapi sekarang setelah ekspansi terjadi, ada persaingan dan kita tidak ingin menyerahkan ruang ini kepada China,” katanya seperti dikutip DW.

Upaya China untuk memperluas lima negara asli BRICS dipandang menjadi lingkaran yang lebih besar, terutama oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, sebagai upaya untuk mendapatkan pengaruh global yang lebih besar.

“China jelas melihat BRICS+ sebagai kendaraan untuk menantang Barat dan itu adalah sesuatu yang telah mereka coba lakukan. Namun, dalam putaran ekspansi ini, China tidak mendapatkan kata penuh,” kata Chaulia.

Baru-baru ini, China juga mendukung aplikasi Pakistan untuk bergabung dengan BRICS yang segera didukung oleh Rusia. Namun, para ahli mengatakan bahwa musuh besar India ini hampir tidak memiliki peluang untuk diterima dalam kelompok ini.

“Negara-negara yang sangat berhutang yang telah dibantu oleh IMF berulang kali, apa yang akan mereka kontribusikan pada BRICS? Ini akan menjadi klub pengemis daripada klub mereka yang bisa membantu orang lain,” kata Chaulia.

“Saya pikir BRICS akan diperebutkan dan tidak akan mudah bagi China untuk mengarahkan atau mendominasi kelompok ini meski China memiliki banyak kartu tawar-menawar dengan anggota lain. (Diolah dari berbagai sumber)

Berita Terkait