Karma Itu Nyata; Mulyo-No!

adilnews | 14 September 2024, 08:20 am | 31 views

Oleh: Ir. KPH. Adipati, Bagas Pujilaksono Widyakanigara Hamengkunegara, M.Sc., Lic.Eng., Ph.D.
Universitas Gadjah Mada & Seniman/Budayawan Yogyakarta

Ketika Mas Karèbèt alias Joko Tingkir, belum siapa-siapa dan belum apa-apa, dia mengenal gadis desa, di wilayah Juwiring, yang amat sangat cantik jelita, yang bernama Endang Telasih.

Perkenalan antara keduanya, berlanjut, dan larut dalam khayalan masadepan, dunia milik kita berdua. Lebih jauh, keduanya telah melakukan hubungan badan, *sesuk thèké sapa, saiki thèké sapa*, yang mustinya hanya diboleh dilakukan saat sudah ada ikatan resmi, menurut ajaran agama.

Semua sudah diserahkan, dan semua sudah dikorbankan. Endang Telasih hanya berpegang suatu harapan, Mas Karèbèt teguh memegang janjinya. Yaitu, kelak jika Mas Karèbèt sudah menjadi priyayi gung binathara, Hadiwijaya akan menikahi Endang Telasih, hidup bahagia berdua di istana.

Perjalan waktu, mengubah pikiran Mas Karèbèt yang membuat kaburnya harapan Endang Telasih. Mas Karèbèt, putera Kiageng Pengging, Kebo Kenongo, sekalugus buyut dari Brawijaya V dari garwa padmi, yaitu ibu Kusumawardhani, tergiur oleh Sekar Kedhaton Kasultanan Demak Bintoro, puteri Sultan Trenggono dari garwa padmi, yaitu Kanjeng Ratumas Kambang.

Fakta, Endang Telasih, walau hanya gadis desa, kecantikannya sepadan dengan kecantikan Kanjeng Ratumas Kambang. Endang Telasih lebih unggul, karena bahenol. Sedang Kanjeng Ratumas Kambang, tipis, prasasat mung koyo dolanan tutup gelas.

Politik, telah memporak-porandakan bangunan etika dan moralitas Mas Karèbèt. Karèbèt merasa lebih berhak menjadi Raja di tanah Jawa, *mbabar jejeging adil ana tanah Jawa*. Karena, dinasti putera-putera Kiageng Penggih sepuh, alias Pangeran Handayaningrat adalah keturunan Brawijaya V dari garwa padmi, ibu Kusumawardhani. Sedang Jinbun alias Raden Patah, hanyalah dari garwa selir.

Carut-marut perpolitikan di tanah Jawa, pasca Majapahit runtuh, yaitu di era Kasultanan Demak Bintoro, murni sebuah manuver politik para Elit Politik Bajingan Tengik, yang tidak peduli dengan kondisi riil rakyat.

Dipikiran Karèbèt, lewat Kanjeng Ratumas Kambang, Karèbèt bisa menggapai ambisinya merebut kembali tahta raja, yang selama ini jatuh ketangan orang yang tidak berhak.

Modal tampang rupawan dan kesaktian mandraguna, walau statusnya hanyalah prajurit biasa, Mas Karèbèt, mencoba merayu Kanjeng Ratumas Kambang. Berhasil, dan Kanjeng Ratumas Kambang hamil putera Karèbèt, disaat belum ada ikatan pernikahan resmi. Sultan Trenggono malu atas kejadian ini.

Agar jabang bayi ini tidak diolok-olok orang banyak, sebagai Anak Lembupeteng, maka diberikanlah bayi tersebut ke Pemanahan, untuk diakui sebagai anak kandungnya. Bayi itu bernama Danang Sutawijaya.

Kemudian, setelah jabatan kemiliteran Mas Karèbèt mentereng di Kasultanan Demak Bintoro, dinikahilah Kanjeng Ratumas Kambang.

Mas Karèbèt bernama Hadiwijaya pasca menjadi Adipati Pajang. Diambilah Sutawijaya, yang kala itu baru berumur 5 tahun, ke Kadipaten Pajang, diangkat menjadi putera angkat Adipati Pajang, Hadiwijaya.

Janji mengajak Endang Telasih bahagia hidup di istana, hanyalah isapan jempol. Hadiwijaya semakin sibuk dengan politik. Lebih-lebih, ada kevakuman kekuasaan di Kasultanan Demak Bintoro, pasca terbunuhnya Sultan Trenggono.

*Endang Telasih hanyalah korban janji palsu laki-laki hidung belang alias playboy cap dua cula*.

Ringkas cerita, pasca terbunuhnya Adipati Jipang Panolan, Haryo Penangsang, Hadiwijaya diangkat menjadi Sultan Demak Bintoro terakhir. Kemudian, istana dipindah ke Pajang, menjadi Sultan Pajang Hadiwijaya.

Lagi-lagi, Endang Telasih, yang telah mengorbankan kesucian, harga diri dan kehormatannya, nyata-nyata, dilupakan Hadiwijaya.

Melompat, di era Danang Sutawijaya menjadi penguasa Kademangan Mentok, pasca Ki Gede Mataram alias Pemanahan wafat, bergelar Panembahan Senopati ing Ngalaga Ngabèhi Loring Pasar. Di era ini, munculah istilah Kotagede. Senopati membangun Kademangan Mentaok bak kerajaan: kanal bèntèng njero, dan alun-alun dengan pohon beringin kembar.

Mendengar perilaku putera sulungnya, Hadiwijaya marah besar. Senopati dianggap mbalelo, merong kampuh, mbondhan tanpa ratu. Patih Pramonconagoro alias Mas Ponco, diminta menyiapkan prajurit, Mentaok diserang. Hadiwijaya sendiri yang menjadi Senopati Perang dengan naik dwipanggo (gajah).

Peristiwa penyerangan itu terjadi tahun 1576. Misi menyerang Mentaok gagal total. Karena, Gunung Merapi meletus dan Sungai Opak banjir bandang.

Sultan Hadiwijaya memutuskan pulang ke Pajang bersama seluruh prajurit Pajang, dan mampir makamnya Sunan Tembayat alias Bupati Semarang I, yaitu Bupati Pandhanaran. Sayangnya, semesta tidak mengijinkan Hadiwijaya memasuki ruang makam Sunan Tembayat, pintu makam tidak bisa dibuka. Diputuskan, pulang ke Pajang. Saat naik gajah, Hadijaya kepleset, dan jatuh kanteb. Dalam kondisi kasikitan, Hadiwijaya menanyakan kejadian jatuhnya ke Patih Pramonconagoro: kakang patih Pramonconagoro, apa artine Raja dhawah saka dwipanggo? Patih Pramonconagoro menjawab: meniko pralambang/sanépan, bilih raja puniko sampun koncatan wahyu.

*Wahyu Pajang pindah ke Mataram, sesuai ramalan Sunan Giri alias Pangeran Kadilangu*.

Pulang ke Pajang dan Hadiwijaya ditandu.

Jatuhnya Hadiwijaya, didengar Senopati. Diantar Jurumertani, Senopati menghadap ayahandanya ke Pajang.

Dewata sudah berkehendak, Senopati dan Jurumertani, lewat depan rumah Endang Telasih. Di usia senja, masih tersisa guratan wajah ayu dan tubuh sexy Endang Telasih. Duduk termenung di depan rumah, menunggu janji manis Mas Karèbèt.

Fakta, wajah Senopati sangat mirip dengan ayahandanya. Dipanggilah Senopati oleh Endang Telasih dengan sebutan Mas Karèbèt.

Senopati dan Jurumertani mendekat. Senopati menjelaskan, bahwa dirinya adalah Senopati, putera mas Karèbèt alias Hadiwijaya, yang sekarang bertahta sebagai Sultan Pajang.

Sudah waktunya, wis tekan titiwanciné, Hadiwijaya membayar janjinya, Endang Telasih bahagia bersama Hadiwijaya, hidup di istana.

Diserahkanlah dua keranjang bunga kepada Senopati dan Jurumertani, untuk diberikan ke Sultan Hadiwijaya.

Sampai di Pajang, banyak orang berkerumun di sekitar tempat tidur Hadiwijaya. Kedua keranjang bunga dari Endang Telasih diletakkan dekat tempat tidur Hadiwijaya oleh Senopati. Wafatlah seketika Sultan Panjang Hadiwijaya.

*Janji sudah terbayar lunas, Endang Telasih, hidup bahagia bersama Hadiwijaya di istana, walau diwakili bunga, dan hanya sekejap*.

Bunga itu kemudian dikenal sebagai bunga Telasih atau bunga kematian.

Perilaku anak Mulyo-No mirip dengan perilaku Mas Karèbèt, walau wajah Mas Karèbèt jelas jauuuuh lebih guanteng dibanding anak Mulyo-No: *habis manis, sepah dibuang*.

*Karma Mulyo-No masuk lewat pintu-pintu anak-anaknya*.

Merdeka!

Berita Terkait