Warga Rempang Tolak PSN dan Investasi Tiongkok

adilnews | 14 August 2024, 07:55 am | 111 views

JAKARTA- Puluhan warga Rempang didampingi aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau dan beberapa organisasi masyarakat sipil menggelar aksi damai di depan Kedutaan Besar China di Jakarta pada Rabu, 14 Agustus 2024. Mereka mendesak pada pemerintah Tiongkok untuk membatalkan investasinya dalam proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau senilai Rp 175 triliun.

Aksi tersebut dilakukan untuk merespon sikap pemerintah pusat yang konsisten akan melanjutkan PSN Rempang Eco City meski warga setempat yang terdampak pengembangan proyek itu menentang keras untuk direlokasi. Sebulan lalu pemerintah diwakili oleh Badan Pengusahaan Batam bersama Pemerintah Kota BATAM dan PT Makmur Elok Graha (MEG) menggelar rapat koordinasi pengembangan Rempang Eco – City terkait realisasi serta beberapa rencana aksi untuk mendukung dan menuntaskan investasi di Rempang.

WALHI Riau menilai pemerintah sama sekali tidak mempedulikan aspirasi masyarakat yang hingga saat ini masih tetap bertahan di kampung mereka dan menolak untuk direlokasi. Pemerintah dianggap lebih mengutamakan investasi asing dari pada nasib warga Rempang

“Kami masyarakat Rempang dan juga Solidaritas yg bergabung dalam Solidaritas untuk Rempang, saat ini melakukan aksi di depan Kedubes Tiongkok dikarenakan PSN Rempang Eco City salah satunya didanai oleh perusahaan asal Tiongkok bernama Xinyi Group. Investasi yg mereka berikan sebanyak 175 triliun yang rencananya akan digunakan untuk membangun pabrik kaca dan panel (Surya) di Rempang. Saat ini menghadapi konflik dengan masyarakat karena masyarakat tidak mau digusur, tidak mau direlokasi, tidak mau dipindahkan ke tempat lain guna pembangunan PSN ini. Jadi saat ini kami meminta kepada Kedubes Tiongkok agar bisa menarik investasinya, investasi Xinyi tersebut agar masyarakat terbebas dari ancaman dan intimidasi yang dilakukan pemerintah yang ingin membangun PSN Rempah Eco City di tanah mereka,” tandas Umi Ma’rufa dari WALHI Riau.kepada ADIL News.

Dari awal perencanaan pembangunan PSN Rempang Eco-City, warga setempat telah menolak. Meski mereka protes dan terus bertahan, suara mereka diabaikan.
Menurut Miswadi, warga Rempang, hingga saat ini warga masih menolak meski berbagai macam intimidasi terus dilakukan oleh aparat keamanan agar warga mau direlokasi.

“Kami warga Rempang tetap menolak keras (pembangunan) PSN Rempang Eco City. Pesan kami kepada pemerintah pusat terutama bapak Presiden yang kami banggakan. Kami mohon PSN Rempang Eco City dicabut dari pulau Rempang.
Untuk perkembangan yang terkini, masyarakat Rempang banyak yang diintimidasi, baik itu warga-warga kampung terdampak seperti Blongkeng……” jelas Miswadi.

WALHI Riau menilai pemerintah dan Badan Pengusahaan Batam sama sekali tidak mempedulikan aspirasi masyarakat yang hingga saat ini masih tetap bertahan di kampung mereka dan menolak untuk direlokasi. Terakhir, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto mengadakan kunjungan ke Kota Batam terkait Investasi Rempang Eco – City pada 12 Juli 2024. Kunjungan itu dilakukan untuk memastikan kesiapan pembangunan rumah dan infrastruktur bagi warga yang terdampak dari pengembangan Rempang Eco-City.

Setelah kunjungan itu, Pemkot dan Badan Pengusahaan Batam menegaskan komitmennya untuk mempercepat pembangunan PSN Rempang Eco-City. Hal itu menunjukkan seolah penolakan masyarakat terhadap rencana pembangunan PSN Rempang Eco-City tidak berarti apapun.

Eko Yunanda, Manajer Akselerasi WKR dan Pengorganisasian WALHI Riau, menilai Pemerintah seharusnya tidak memaksakan kehendaknya untuk tetap melanjutkan investasi Rempang Eco-City, karena sampai saat ini mayoritas warga Rempang tetap menolak untuk direlokasi. “Masyarakat Rempang masih tetap ingin hidup dan menjaga tanah adat leluhur mereka yang mereka tempati sejak dulu,” jelasnya dalam rilis yang dikeluarkan oleh WALHI Riau.

Data yang dihimpun dan baru-baru ini dipublikasikan oleh WALHI melalui kajian berjudul “Kronik PSN Rempang Eco-City” menunjukan hanya 20% masyarakat di lima kampung tua yang jadi prioritas pembangunan (Sembulang Pasir Merah, Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Panjang, dan Belongkeng) yang menerima relokasi, sedangkan sisanya bertahan di kampung masing-masing.

Ambisi Pemerintah untuk tetap melanjutkan pengembangan Rempang Eco-City dianggap tidak hanya akan mengusir dan merampas hak masyarakat adat dan tempatan Pulau Rempang namun juga akan turut berpotensi menghancurkan sumber penghidupan masyarakat yang mayoritas bergantung pada laut dan kebun. Apalagi hasil pertanian, peternakan, dan laut masyarakat selama ini juga telah menyumbang sebagian besar sumber pangan untuk Kota Batam.

“Pemerintah juga harus berpikir ulang untuk menjadikan Rempang jadi kawasan industri dan perdagangan, karena selama ini hasil pertanian dan laut masyarakat Rempang telah berkontribusi besar untuk kebutuhan pangan di Kota Batam. Jangan sampai keberadaan proyek ini justru akan mengurangi sumber pangan yang ada hingga menimbulkan krisis pangan di masa yang akan datang,” lanjut Eko.

Lebih lanjut, Eko mempertanyakan sumber dana untuk melanjutkan pembangunan Rempang Eco-City. “Xinyi Group yang dikabarkan akan menyumbang investasi sebesar 175 triliun rupiah ternyata belum memulai kerja sama apapun dengan PT MEG dan BP Batam. Bahkan kerjasama yang telah mereka miliki di Gresik dan Bangka Belitung Selatan sejak 2022 dan 2020 saja hingga saat ini belum dimulai. Lalu untuk apa Pemerintah ngotot melanjutkan proyek ini ketika investasinya masih belum jelas?” pungkas Eko. (Sang Fajar)

Berita Terkait